Selasa, 26 Februari 2019

Keadilan


Setiap orang tentu menginginkan keadilan. Oleh karena itu keadilan merupakan hal yang diburu manusia. Terkadang keadilan dijadikan janji agar orang-orang ikut dalam naungannya. Ideologi di dunia ini menjanjikan keadilan dan kesejahteraan. Tetapi keadilan yang didefinisikan oleh setiap ideologi itu berbeda-beda. Ideologi kapitalisme menyebutkan adil adalah “you get what  you deserved”. Orang yang kaya merupakan hasil dari jerih payahnya, sebaliknya orang yang miskin adalah akibat dari apa yang telah diperbuatnya pula, maka tidak ada kewajiban orang kaya memperhatikan orang miskin[1]. Kalaupun yang kaya memberi, itu karena agar tidak mencuri hartanya, sebab jika dengan membiarkan yang miskin dalam kelaparan menjadikannya untung maka itu akan melakukannya[2].

Ideologi sosialisme juga demikian, keadilan adalah hal yang dijanjikannya. Keadilan menurut ideologi ini adalah sama rasa dan sama rata[3]. Hal itu karena ideologi ini merupakan ideologi yang mengupas kebobrokan ideologi kapitalisme. Kapitalisme dengan pasar bebasnya berkeyakinan akan menciptakan keadilan, namun pada kenyataanya malah terjadi kesenjangan yang begitu dalam antara orang kaya dan orang yang miskin. Disinilah karl marx hadir membawa janji keadilan, menurutnya keadilan adalah sama rasa dan sama rata sehingga tidak terjadi akumulasi kapital[4].

Sedangkan Islam memandang keadilan adalah tidak mendzalimi dan tidak didzalimi[5]. Maka didalam setiap akad tidak dibenarkan hanya berorientasi pada keuntungan sementara hal itu menyebabkan pada rusaknya alam atau ada pihak yang dirugikan. Didalam akad jual beli misalnya harus ada transparansi atas barang yang akan dijual, jika ada yang disembunyikan atau barang yang dijual itu cacat sementara yang membeli baru mengetahui, maka barang yang dibeli boleh dikembalikan[6].

Indikasi adil dalam akad jual beli misalnya adalah apabila proses tawar menawar antara penjual dan pembeli berlangsung dengan lancar, tidak ada penipuan, rekayasa seperti monopoli dan kartel, paksaan, atau hal lainnya yang mencedrai kepercayaan[7]. Equilibrium akan tercipta apabila dalam akad diserahkan pada kekuatan penawaran dan permintaan[8]. Contoh lain dalam akad mudharabah[9]. mudharabah merupakan akad yang ditujukan untuk mengembangkan harta jika dilihat dari sisi orang yang memberi modal usaha (shahib al-mal), dan merupakan sebab kepemilikan harta jika dilihat dari sisi orang yang mengelola harta (mudharib)[10] keadilan dalam arti tidak mendzalimi dan tidak terdzalimi dalam akad mudharabah terlihat pada pembagian keuntungan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sementara yang mengelola kerugiannya tidak mendapatkan keuntungan dari harta yang dikelola[11].

Prinsip keadilan ini harus ada dalam setiap akad yang dilakukan. Baik itu dalam jual beli, permodalan, pertanian, industri, perseroan, dan akad lainnya yang dibenarkan oleh syari’ah. Karena Islam tidak menghendaki kedzaliman dan menjungjung tinggi keadilan.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ  يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Surat An-Nahl: 90).



[1] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015, hlm. 36.
[2] Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: HTI Press, 2015, hlm. 29.
[3] Opcit
[4] Dwi Condro Triono, Falsafah Ekonomi Islam, Yogyakarta: Irtikaz, 2017, hlm. 211-226.
[5] Nurul Huda, Baitul Mal Wa Tamwil, Jakarta: Amzah, 2016, hlm. 6.
[6] Abdullah Ibn Ahmad Ibn Qudamah, juz 6, Al-Mmughni, Riyadh: Daar ‘Alim al-Kutub, hlm. 33.
[7] Dwi Condro Triono, Ekonomi Pasar Syari’ah, Yogyakarta: irtikaz, 2017, hlm. 335.
[8] Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016, hlm. 148.
[9] mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara  mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Lihat fatwa DSN-MUI no 07/DSN-MUI/IV/2000.
[10] Dwi Condo Triono, Falsafah Ekonomi Islam, Yogyakarta: Irtikaz, 2017, hlm. 351.
[11] Hafidz Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer, Bogor: Al-Azhar Press, 2015, hlm. 26.

Senin, 25 Februari 2019

Perhatikanlah Hartamu!!


Harta adalah segala yang dibutuhkan. Manusia dengan kebutuhan jasmani serta adanya naluri, baik itu naluri mempertahankan diri, naluri melestarikan diri, dan naluri beragama tentu tidak bisa dipisahkan dari harta. Untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya manusia membutuhkan minuman dan makanan, demi mempertahankan dirinya dari hujan dan panas serta gangguan lainnya , manusia memerlukan rumah sebagai tempat bernaung. Untuk memenuhi naluri melestarikan diri, manusia bersedia berkorban bagi anak-anaknya, dan untuk melaksanakan agamanya manusia menutup aurat dengan beragam jenis pakaian.

Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri. Aristoteles (384-322 SM) mengatakan manusia itu adalah Zoon Politicon, artinya manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Adapun cara untuk memenuhi naluri dan kebutuhan jasmani Allah telah memberikan pedoman dalam Al-Qur’an dan as-Sunah. Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan orang lain untuk saling memenuhi kebutuhan dan saling tolong-menolong diantara mereka. Karena itulah perlu sekali kita mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.

Harta memiliki peranan penting untuk manusia dalam menjalankan kehidupannya, manusia bebas memiliki harta tetapi mekanismenya dibatasi oleh syariat Islam. Jadi Islam tidak membatasi kuantitas pemilikan harta, namun Islam hanya mengatur mekanisme perolehan harta dan pengembangan harta. Aturan-aturan Islam mengenai harta, baik dalam perpindahan harta, atau dalam pengelolaan harta dibahas dalam fiqh muamalah.

Kebutuhan yang mau tidak mau harus terpenuhi disebut kebutuhan primer, hal ini karena adanya naluri mempertahankan diri dan dorongan dari kebutuhan jasmani. Adanya kebutuhan primer mendorong semua manusia untuk melakukan perbuatan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Jika hal itu dibiarkan dan tanpa adanya aturan maka akan timbul konflik horizontal dan bisa saja sampai pada kehancuran sosial. Oleh karena itu pencipta manusia menurunkan pedoman melalui Nabi-Nya yakni Al-Qur’an dan apa yang ditunjuk oleh sumber itu yakni Al-Hadist.

Kedua sumber hukum Islam itu mengatur secara umum hal-hal yang diperbolehkan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua sumber itu juga mengatur hal hal yang tidak diperbolehkan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Karena hal itu maka akan terjadi keteraturan dan kelancaran dalam kehidupan sosial. Islam adalah agama yang sempurna, kesempurnaan itu terlihat dari pemecahan solusi dalam setiap permasalahan yang timbul dimasyarakat, sebab Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum Islam adalah pedoman untuk manusia.

Islam telah membagi harta pada tiga bagian, yaitu harta milik Negara, harta milik umum, dan harta yang berhak dimiliki oleh individu. Pembagian kavling itu agar tercipta kesejahteraan dan tidak menciptakan hegemoni segelintir orang yang menyebabkan kesengsaraan banyak orang. Islam mempunyai kebijakan fiskal yang ramah pada dunia usaha yaitu zakat, agar 8 asnaf yang telah ditentukan oleh syariat terpenuhi kebutuhan dasarnya, bukan hanya kebutuhan dasar namun jika zakat ini disalurkan kepada lembaga yang professional dan dikelola secara produktif maka mustahik akan berubah statusnya menjadi muzaki.

Sedangkan pengembangan harta yang halal yaitu  jual beli dan investasi dengan akad mudharabah bukan dengan akad yang mengandung riba. Sekali lagi, Islam tidak membatasi kuantitas kepemilikan harta namun mekanisme dari mulai cara memiliki harta, pengembangan harta, serta penyaluran harta yang telah diatur oleh Islam, mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan, sebab mengenai harta ada dua pertanyaan kelak dihari perhitungan yaitu darimana kau peroleh dan digunakan untuk apa hartamu?
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya(H.R. Tirmidzi).

Bagaimanapun keadaan kita, baik memiliki harta atau berada dalam kekurangan jangan sampai keadaan keduanya menjauhkan diri dari pencipta, hati-hatilah dengan harta karena itu semua adalah ujian yang akan kita pertanggungjawabkan. Yang harus kita perhatikan adalah bagaimana dua kondisi itu menjadikan kita lebih dekat dengan Pencipta. Sabar dan syukur dalam dua kondisi tersebut merupakan ibadah, perhatikanlah hartamu!!