Setiap orang tentu menginginkan keadilan. Oleh karena itu keadilan
merupakan hal yang diburu manusia. Terkadang keadilan dijadikan janji agar
orang-orang ikut dalam naungannya. Ideologi di dunia ini menjanjikan keadilan
dan kesejahteraan. Tetapi keadilan yang didefinisikan oleh setiap ideologi itu
berbeda-beda. Ideologi kapitalisme menyebutkan adil adalah “you get
what you deserved”. Orang yang kaya
merupakan hasil dari jerih payahnya, sebaliknya orang yang miskin adalah akibat
dari apa yang telah diperbuatnya pula, maka tidak ada kewajiban orang kaya
memperhatikan orang miskin[1].
Kalaupun yang kaya memberi, itu karena agar tidak mencuri hartanya, sebab jika
dengan membiarkan yang miskin dalam kelaparan menjadikannya untung maka itu
akan melakukannya[2].
Ideologi sosialisme juga demikian, keadilan adalah hal yang
dijanjikannya. Keadilan menurut ideologi ini adalah sama rasa dan sama rata[3].
Hal itu karena ideologi ini merupakan ideologi yang mengupas kebobrokan ideologi
kapitalisme. Kapitalisme dengan pasar bebasnya berkeyakinan akan menciptakan
keadilan, namun pada kenyataanya malah terjadi kesenjangan yang begitu dalam
antara orang kaya dan orang yang miskin. Disinilah karl marx hadir membawa
janji keadilan, menurutnya keadilan adalah sama rasa dan sama rata sehingga
tidak terjadi akumulasi kapital[4].
Sedangkan Islam memandang keadilan adalah tidak mendzalimi dan
tidak didzalimi[5].
Maka didalam setiap akad tidak dibenarkan hanya berorientasi pada keuntungan
sementara hal itu menyebabkan pada rusaknya alam atau ada pihak yang dirugikan.
Didalam akad jual beli misalnya harus ada transparansi atas barang yang akan
dijual, jika ada yang disembunyikan atau barang yang dijual itu cacat sementara
yang membeli baru mengetahui, maka barang yang dibeli boleh dikembalikan[6].
Indikasi adil dalam akad jual beli misalnya adalah apabila proses
tawar menawar antara penjual dan pembeli berlangsung dengan lancar, tidak ada
penipuan, rekayasa seperti monopoli dan kartel, paksaan, atau hal lainnya yang
mencedrai kepercayaan[7].
Equilibrium akan tercipta apabila dalam akad diserahkan pada kekuatan
penawaran dan permintaan[8].
Contoh lain dalam akad mudharabah[9].
mudharabah merupakan akad yang ditujukan untuk mengembangkan harta jika
dilihat dari sisi orang yang memberi modal usaha (shahib al-mal), dan
merupakan sebab kepemilikan harta jika dilihat dari sisi orang yang mengelola
harta (mudharib)[10]
keadilan dalam arti tidak mendzalimi dan tidak terdzalimi dalam akad mudharabah
terlihat pada pembagian keuntungan. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan
dan kerugian ditanggung oleh pemberi modal, sementara yang mengelola
kerugiannya tidak mendapatkan keuntungan dari harta yang dikelola[11].
Prinsip keadilan ini harus ada dalam setiap akad yang dilakukan.
Baik itu dalam jual beli, permodalan, pertanian, industri, perseroan, dan akad
lainnya yang dibenarkan oleh syari’ah. Karena Islam tidak menghendaki
kedzaliman dan menjungjung tinggi keadilan.
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ
وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Surat An-Nahl: 90).
[1]
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015, hlm. 36.
[2]
Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: HTI Press, 2015,
hlm. 29.
[3]
Opcit
[4]
Dwi Condro Triono, Falsafah Ekonomi Islam, Yogyakarta: Irtikaz, 2017,
hlm. 211-226.
[5]
Nurul Huda, Baitul Mal Wa Tamwil, Jakarta: Amzah, 2016, hlm. 6.
[7]
Dwi Condro Triono, Ekonomi Pasar Syari’ah, Yogyakarta: irtikaz, 2017, hlm.
335.
[8]
Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2016,
hlm. 148.
[9]
mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama (malik,
shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal,
sedang pihak kedua (‘amil,
mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak. Lihat fatwa DSN-MUI no 07/DSN-MUI/IV/2000.
[10] Dwi Condo
Triono, Falsafah Ekonomi Islam, Yogyakarta: Irtikaz, 2017, hlm. 351.
[11]
Hafidz Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer, Bogor: Al-Azhar
Press, 2015, hlm. 26.